Alas Tidur Nabi
***
Tersentak saya
ketika pada 2 Februari 2013 membaca Suara Merdeka. Terpampang di halaman depan,
sebuah berita tentang gaya hidup seseorang yang baru saja ditunjuk menjadi
presiden baru sebuah partai bersimbol tangkai padi diapit bulan sabit kembar.
Diberitakan
koran itu, si presiden partai menyatakan akan mengubah gaya hidupnya. Dia
berjanji akan melepas sebuah jam tangan yang selama ini setia melingkar di
tangan kirinya. Jam tangan itu bukan sembarang jam tangan. Merek jam itu Rolex dengan
banderol Rp 70 jutaan.
Yang membuat
saya tak habis pikir sampai saat menulis tulisan ini adalah komentarnya ketika
dikonfirmasi tentang gaya hidupnya itu.
Ia menganggap
jam seharga Rp 70 jutaan itu hanyalah kepantasan sebagai pejabat publik,
dan hanya sebagai aksesori, bukan gaya hidup.
Sampai detik
ini saya masih belum bisa menerima logika hubungan atau korelasi antara memakai
barang mewah dengan kepantasan sebagai pejabat publik.
Kalau saya
mengikuti logika presiden partai itu berarti seperti ini
:
- Seseorang yang menjadi pejabat publik harus memakai barang mewah.
atau seperti
ini:
- Seseorang yang menjadi pejabat publik tapi tidak memakai barang mewah, berarti orang itu tidak pantas menjadi pejabat publik.
Menurut saya,
betul-betul logika yang amat sangat konyol.
Ironisnya,
logika itu dilontarkan oleh seorang anggota DPR.
Ironisnya
lagi, logika itu dilontarkan oleh presiden Islam.
Ironisnya
lagi, logika itu dilontarkan di sebuah negeri yang puluhan juta rakyatnya masih
berjuang untuk lepas dari jerat lingkaran setan bernama kemiskinan dan
kebodohan…
***
Logika konyol
hanya dilontarkan oleh manusia yang belum dewasa cara berpikirnya. Kalau sudah
begini, saya menjadi teringat mantan Presiden Gus Dur yang menyebut bahwa DPR adalah
gerombolan anak TK. Ya, memang betul, anak TK adalah manusia yang belum dewasa
cara berpikirnya.
Tetapi, yang
saya syukuri, si pemakai jam Rp 70 juta itu begitu diangkat menjadi presiden
partai, langsung menyatakan berhenti dari keanggotaannya di DPR. Itu berarti si
pemakai jam Rp 70 juta itu ingin beranjak dewasa. Ingin memperbaiki nalar
logikanya. Hal ini patut kita syukuri.
***
Okelah logika
yang dilontarkan presiden partai itu adalah sebuah pemikiran atau pandangan
pribadi. Dalam dunia ilmiah, sebuah pemikiran atau pandangan dapatlah disebut
sebagai sebuah tesis. Untuk menguji apakah sebuah tesis itu benar atau tidak
menurut logika akal sehat, maka harus dimunculkan kebalikannya, yaitu
antitesis. Maka saya kemukakan contoh-contoh dari beberapa pejabat publik di
bawah ini semoga bisa menjadi antitesis.
***
Mahmoud Ahmadinejad
Barangkali, Mahmoud Ahmadinejad adalah satu-satunya presiden berjenis
kelamin pria di dunia yang tidak memakai dasi, bahkan dalam lingkup protokoler
sekalipun. Adakah di antara saudara sekalian yang pernah melihat presiden Iran
ini berdasi? Tanpa dasi pun tidak ada yang memungkiri bahwa dia adalah seorang pejabat
publik dengan jabatan kepala negara. Dan rasanya tanpa dasi pun, lawan-lawan
politiknya baik di Timur Tengah maupun yang ada di Barat sana, tetap
menyeganinya. Itu baru Ahmadinejad.
Joko Widodo
Harus diakui, Joko Widodo adalah salah satu pemimpin di Indonesia yang
dicintai rakyatnya. Jabatan yang disandangnya pun tidak main-main: Gubernur
salah satu kota terpadat di dunia. Bahkan, Joko Widodo masuk tiga besar
walikota terbaik se-dunia tahun 2012. Sebuah penghargaan yang tidak main-main. Namun, berkali-kali media
massa memberitakan tentang kesederhanaan Joko Widodo. Penampilannya yang paling
sering terlihat adalah kemeja putih lengan panjang yang dilingkis setengah.
Dan… ini yang penting… jarang sekali terlihat sebuah jam tangan melingkar di
pergelangannya. Selain itu, Joko Widodo memilih membuka lebar-lebar pintu dan
jendela di ruang kerjanya. Alhasil, AC pun dimatikan. Mungkin, sebagai orang
Jawa, Joko Widodo menganut prinsip ing ngarso sung tuladha. Sebagai
pemimpin dia memang harus memberi contoh: kali ini tentang hemat energi. Ingat
juga ini: Gaji tujuh tahun yang tidak diambil selama memimpin Solo sejak 2005.
Itu baru Joko Widodo.
Dahlan Iskan
Kiprah arek Magetan ini tidak satupun yang meragukannya. Teori
kepemimpinan yang revolusioner dan mendobrak tradisi adalah ciri khasnya.
Profesi dari kasta bawah sampai kursi empuk menteri sudah dilakoninya. Namun…
ini penting juga… kesederhanaan tidak pernah luput dari pribadinya. Beberapa
hal di luar pakem yang berhasil saya catat dari seorang Dahlan Iskan antara
lain: dia memilih menginap di rumah warga setiap kali mengadakan kunjungan
kerja ke daerah. Dahlan juga memilih menyopiri sendiri mobil ketika bekerja.
Bahkan, dia tidak bersedia menggunakan mobil dinas. Lucunya, ketika ditanya
alasan mengapa tidak mau memakai mobil dinas, beliau beralasan karena mobil
pribadinya lebih baik dari mobil dinas. Kabar terbaru, Dahlan Iskan memberikan
seluruh gajinya tiap bulan sebagai Menteri BUMN kepada seorang insinyur yang
sedang menggarap proyek kendaraan listrik. Itu baru Dahlan Iskan.
***
Pejabat publik
yang terakhir adalah yang paling fenomenal. Ikuti kisahnya berikut:
Saya teringat
sebuah kisah tentang Kanjeng Nabi yang dituturkan oleh guru ngaji saya ketika ta’lim
sepulang sekolah suatu hari saat SMA dulu.
Kata guru
ngaji saya itu:
Suatu hari
Umar radhiyallahu ’anhu menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam. Tercengang Umar melihat guratan bekas tikar di pipi Rasulullah.
Seketika Umar menangis.
Rasulullah pun
bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Umar?”.
“Bagaimana aku
tidak menangis, Ya Rasul. Hidupmu seperti ini. Tidur hanya beralaskan tikar.
Padahal Engkau adalah utusan Allah,” jawab Umar penuh derai air mata.
Rasulullah pun
menenangkan Umar sambil menjawab tegas,
“Wahai Umar,
aku bukan Kaisar Romawi. Aku bukan Kisra Persia. Tapi aku ini utusan Allah.”
***
Terpatri abadi
dalam khazanah sejarah, Rasulullah berdakwah ikhlas semata-mata karena perintah
Allah. Beliau dengan tegas menolak segala macam jabatan, harta, dan tahta.
Bahkan, matahari dan bulan pun tak akan sudi diterimanya jika diberikan di
tangan kanan dan kirinya. Padahal, kedudukan Kanjeng Nabi adalah lebih dari
sekedar “pejabat publik”.
Belajar dari
Kanjeng Nabi, alangkah jauh menyimpang logika dasar dan perilaku para “pejabat
publik” di negeri ini.
***
Selawat dan
salam atas Kanjeng Nabi.
Semoga Beliau
tetap berkenan memberi syafa’at kepada kita (termasuk penulis) yang
kadang melenceng dari tuntunannya.
***
Segaran,
Februari 2013